Ketua BEM UI: Dulu Aktivis Turun Langsung ke Masyarakat, Kalau Sekarang Beda Caranya


Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonsia (UI) Zaadit Taqwa mengungkapkan perbedaan antara aktivis 98 dengan aktivis milenal atau zaman sekarang.

Dilansir TribunWow.com dari Tribun Jakarta, hal tersebut ia sampaikan dalam acara Shafa Young Activist Award 2018, yakni nobar detik-detik pemberian kartu kepada Jokowi, yang diadakan di FIB UI Depok, Sabtu (10/2/2018).
Menurut Zaadit Taqwa, terdapat perbedaan antara keduanya dalam cara terjun ke masyarakat.

Zaadit Taqwa mengungkapkan jika dulu (98) aktivis turun langsung ke masyarakat untuk mengetahui persoalan mereka.
"Yang harus dibedakan antara aktivis milenial dan 98 itu, dulu mereka turun langsung ke masyarakat mengetahui persoalannya," ujarnya.
Berbeda dengan saat ini yang menggunakan cara atau pendekatan yang berbeda.

"Kalau sekarang rata-rata aktivisnya menengah ke atas, nah dengan keuntungan itu banyak yang bisa dilakukan," terangnya.

Zaadit kemudian memberikan contoh seperti sebuah peluang kerja baru dengan platform digital buatan Indonesia.

"Misalkan dengan Bukalapak karya mas Zaki. Itu membuka peluang baru bagi masyarakat. Kemudian ada mas Adri Sanjaya yang mengakomodir para petani," kata Zaadit menggebu-gebu.

Menurutnya, dengan adanya teknologi yang semakin berkembang pesat, bisa menjadi keuntungan tersendiri bagi aktivis era milenal.

"Dengan adanya teknologi itu satu keuntungan. Peran utamanya kita bersuara tapi sembari bisa melakukan demi masyarakat," tutupnya.
Pada kesempatan di acara tersebut, Zaadit juga memberikan klarifikasi terkait beberapa publik yang menilai aksinya memberikan kartu kuning kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak sopan.

Menurutnya, justru aksinya memberikan kartu kuning tersebut sudah sopan.
Diketahui, Zaadit memberikan kartu kuning tersebut ketika sang presiden tengah memberikan sambutan.

"Tadinya rencana saya itu selesai Pak Jokowi beri salam, langsung prit. Ternyata Pak Jokowi peresmian dulu dong. Kalo kita menggangu itu lebih tidak sopan.
Mau enggak mau saya tunggu dulu sekitar setengah menit. Kemudian saya disamperin Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres)," katanya.

Setelah lolos dari Paspampres ia pun langsung maju dan membunyikan peluit serta mengangkat kartu kuning untuk Jokowi, setelah sang presiden selesai meresmikan acara.

Ia juga mengungkapkan jika aksinya tersebut merupakan salah satu cara yang cenderung lebih mudah untuk menyampaikan suaranya.

"Susah kalo hanya melalui audiensi. Kita susah didengar. Aksi turun ke jalan merupakan suara kita agar bisa didengar pejabat terkait," kata Zaadit.
Ia memberikan kartu lantaran menurutnya orang-orang saat ini lebih suka dengan simbol-simbol.

"Intinya, kartu kuning itu peringatan. Karena orang-orang sekarang suka dengan yang namanya simbol-simbol," imbuh Zaadit.

Kritik

Dalam acara yang sama, hadir salah satu alumni FIB UI, Mantek.
Mantek mengkritik jika aksi Zaadit sangat tak sopan.
"Menurut saya Zaadit sangat tidak sopan menjamu tamu di rumah sendiri," kata Mantek.

Selanjutnya, Mantek juga menyoroti kenapa yang diungkapkan hanya permasalahan di Asmat saja.

"Dan kenapa hanya satu permasalahan saja mengenai soal Asmat. Masih banyak permasalahan lain yang seharusnya diungkap," kritik Mantek.
Tak hanya itu, Mantek juga menduga jika acar diskusi dalam acara tersebut ditumpangi oleh kepentingan politik.

"Saya menduga bincang-bincang ini disertai juga oleh kepentingan partai," ujar Mantek.

Menanggapi hal tersebut, Zaadit Taqwa mengungkapkan jika persoalan Asmat hanya simbol.

"Asmat hanya menjadi simbol untuk masyarakat menyelesaikan fasilitas fasilitas umum. Itu tugas pemerintah agar daerah terpencil mendapat haknya," balas Zaadit.

Ia kemudian menyebutkan 3 tuntutannya yang sebenarnya.

1. Pemerintah masih belum bisa mengentaskan masyarakat dari kebutuhan primer yang minim.

2. Pemerintah belum bisa menyediakan ruang demokrasi bagi masyarakat.

3. Pemerintah belum bisa menjalankan agenda reformasi dengan masihnya keikutsertaan polisi dalam ranah politik.

Sedikit berbeda dengan 3 tuntuntan yang sebelumnya ia sampaikan dan beredar di publik.

1. Terkait gizi buruk di Papua untuk segera diselesaikan oleh pemerintah karena lokasi kejadian luar biasa campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat, merupakan bagian dari Indonesia.

"Kami ingin mau dipercepat penyelesaiannya karena sudah lama dan sudah banyak korban," ucapnya.

2. Plt atau penjabat gubernur yang berasal dari perwira tinggi TNI/Polri.
"Kita tidak pingin kalau misalnya kembali ke zaman orde baru, kita tidak pengen ada dwifungsi Polri, dimana Polisi aktif pegang jabatan gitu (gubernur) karena tidak sesuai dengan UU Pilkada dan UU Kepolisian," papar Zaadit.

3. Persoalan Permenristekdikti tentang Organisasi Mahasiswa (Ormawa) karena dapat mengancam kebebasan berorganisasi dan gerakan kritis mahasiswa. (*)


close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==